Hai, sudah pernah dengan tentang Dunia Shopie? Atau mungkin istilah ini masih terdengar asing di telinga kamu?
Jadi, dunia Sophie merupakan sebuah novel filsafat yang ditulis oleh Jostein Gaarder. Novel ini pertama kali diterbitkan pada 1991 dalam bahasa Norwegia dengan judul Sofie’s Verden. Hingga kini, novel ini telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 30 bahasa di seluruh dunia dan tentu saja membuatnya menjadi novel bestseller. Hal tersebut didapat tentu saja karena novel ini sangat unik, yaitu menyampaikan cerita sejarah filsafat dengan bahasa sederhana dan mudah dimengerti. Nah, ini nih penampakan bukunya!
Aku pertama kali baca novel ini saat masih sekolah, mungkin saat kelas 11. Ketika itu, aku memutuskan dan tertarik dengan novel ini karena rekomendasi dari salah satu tutor Zenius, yaitu bang Sabda (Rekomendasi Buku). First impression membaca novel ini adalah aku pikir novel ini sungguh absurd, tidak dapat mengerti, tapi sebenarnya sangat menarik! Mengapa begitu? Karena novel ini menceritakan tentang sejarah filsafat!
Dunia Sophie bercerita tentang seorang gadis berusia 15 tahun bernama Sophie yang dikejutkan oleh surat-surat misterius yang terus diterimanya. Isi surat tersebut hanya sebuah pertanyaan-pertanyaan mendasar yang belum pernah dipikirkannya, seperti “siapa kamu”, “dari mana datangnya dunia”, dan sebagainya. Pertanyaan tersebut lantas membuatnya heran dan tersentak sehingga ia mulai mencoba mencari jawabannya. Siapa sangka ternyata pengirimnya merupakan seorang filsuf yang kemudian memberikan kelas filsafat dengan mengajarkan sejarahnya dari mulai zaman Yunani, abad pertengahan, renaissance, abad pencerahan, hingga zaman modern (abad ke dua puluh).
Membaca Dunia Sophie memberikan pengalaman baru bagiku saat itu. Aku merasa mendapatkan apa yang Sophie dapatkan, yaitu mempelajari filsafat. Mungkin saat itu aku belum begitu paham tentang filsafat, tetapi dengan membaca novel ini membuatku berpikir bahwa filsafat sangat menarik untuk dipelajari. Filsafat dapat diartikan secara sederhana sebagai suatu gerak pikiran yang wajar, sealamiah kita bernapas, dan sesederhana rasa ingin tahu yang besar yang telah kita miliki sejak masa kecil. Membaca novel ini sama halnya dengan membaca buku sejarah, tetapi tidak disajikan secara monoton dan membosankan. Sebaliknya, novel ini justru memberikan kita keinginan untuk terus menerus membaca hingga tuntas karena disajikan dengan menarik, sangat menghibur, dan memberikan pesan filosofis yang menantang daya pikir.
Dunia Sophie menjadi pilihan yang baik bagi kalian yang ingin belajar filsafat dengan cara yang berbeda. Kita akan bertemu dengan tokoh-tokoh filsuf dari zaman Yunani, abad pertengahan, hingga zaman modern. Meskipun tentu saja disajikan dengan gaya Eropa sentris sehingga tidak menyinggung banyak tentang filsafat Timur (India, Tiongkok, Islam). Efeknya adalah kita dapat merefleksikan apa yang telah kita baca dalam novel ini dan memiliki dorongan untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang makna dan tujuan hidup.
Menariknya, novel ini juga cukup membantuku saat kuliah di kelas filsafat karena aku cukup memiliki gambaran umum tentang sejarah filsafat dari novel ini, meskipun masih harus membaca lebih banyak buku pengantar filsafat lagi. Pelajaran yang dapat aku ambil dari membaca buku ini adalah betul bahwa setiap tokoh filsuf dengan gagasan, pemikiran, dan ilmunya bisa jadi cocok atau tidak cocok dengan kehidupan kita. Kita sendirilah, sebagai pembaca, yang bisa memilah dan memilih segala hal yang bisa kita terima; memfilternya mana yang dirasa bisa diterima dan mana yang tidak. Tidak semua yang baik itu sesuai dengan kehidupan kita. Banyak hal baik yang mungkin kurang kompatibel dengan situasi hidup kita saat ini. Masing-masing gagasan atau pemikiran setiap filsuf memiliki jatah benarnya sendiri sesuai dengan konteksnya.
Secara keseluruhan, novel ini sangat direkomendasikan untuk kalian yang ingin mengetahui sejarah filsafat yang dikemas dengan bahasa yang sederhana dan penceritaan yang unik.
“Orang yang tidak dapat mengambil pelajaran dari masa tiga ribu tahun, hidup tanpa memanfaatkan akalnya.” Goethe