Sejak zaman dahulu, sungai memiliki peranan signifikan dalam peradaban umat manusia. Sungai Nil yang menjadi sumber peradaban Mesir, Mesopotamia, Sumeria, sungai Eufrat, dan sungai Indus di Pakistan-India. Di Indonesia sendiri, kerajaan-kerajaan maritim Nusantara zaman dahulu telah menggunakan sungai sebagai lalu lintas manusia, bahan baku hingga budaya. Tak heran peradaban besar di dunia bahkan di Indonesia pun lahir di tepi sungai. Sebut saja Sriwijaya, Batanghari, Musi hingga Batavia yang lahir, tumbuh, dan besar di tepi sungai.
Pada masa
lalu, sungai punya peranan vital sebagai jalur perdagangan, migrasi, dan
transportasi. Namun, saat ini sungai seperti tak ternilai lagi. Hal ini
disebabkan oleh manusia yang mengalihfungsikan sungai sebagai tempat pembuangan
sampah raksasa. Alhasil sungai pun menjadi tak terawat, airnya tak sejernih dulu
lagi, alamnya tak lestari. Pengetahuan yang masih kurang dan minimnya
kepedulian merawat alam disinyalir menjadi faktor yang membuat hal ini terjadi.
Desakan ekonomi dan pembangunan yang tak berkelanjutan pun telah menyebabkan
kemiskinan dan datangnya bencana bagi manusia dan ekosistem di sekitarnya.
Ada
banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengkampanyekan kepedulian terhadap
lingkungan dan edukasi pentingnya menjaga alam agar tetap lestari. Setiap dari kita bisa berperan dalam memberikan kontribusi nyata untuk lingkungan terlepas dari
latar belakang kita. Dimulai dari kesadaran diri sendiri, menyadarkan orang di
sekitar kita, sampai dengan menyadarkan masyarakat luas. Salah satu cara yang
menarik adalah dengan mengadakan festival seni dan budaya yang mengangkat isu
lingkungan. Seni dan budaya merupakan sesuatu yang indah dan lekat dengan kita,
sehingga menyadarkan banyak orang mengenai isu lingkungan melalui seni dan
budaya dinilai lebih efektif dan efesien.
Salah
satu festival seni dan budaya bertemakan kelestarian lingkungan adalah “Jagakali
Art Festival” yang digelar di kota Cirebon, Jawa Barat sejak 2006 silam. “Jagakali”
bermakna “menjaga sungai”, sebuah konsep festival yang bertujuan untuk
menyadarkan banyak orang tentang pentingnya sungai sebagai sumber kehidupan dan
sumber peradaban sejak zaman dahulu. Namun, sungai pada saat ini telah tercemar
dan jauh dari peradaban. Manusia yang tak bertanggungjawab telah mengubah
sungai sedemikian tercemarnya sehingga sungai menjadi tempat sampah raksasa. Melihat
keresahan ini, Mas Nico Broer selaku penggagas "Jagakali Art Festival” ingin mengampanyekan
pentingnya menjaga lingkungan dan mengemasnya melalui seni dan budaya, sehingga
diharapkan kita bisa merenungi tentang kondisi lingkungan saat ini yang sedang
tidak baik-baik saja.
Jagakali
Art Festival merupakan event tahunan yang terdiri dari banyak sekali rangkaian
acaranya, dari mulai workshop pengolahan sampah, workshop seni rupa,
mendongeng, beragam lomba, bersih-bersih sungai, menanam pohon sampai acara
puncaknya yang berupa pertunjukkan berbagai macam seni. Tak heran acara ini pun
digelar selama beberapa hari dan dihadiri oleh beragam komunitas, baik komunitas
di Cirebon sendiri maupun dari luar kota. Dari mulai komunitas seni, budaya, musik,
pecinta kucing, dan masih banyak lagi. Bahkan pada 2019 lalu, acara Jagakali
Art Festival ini dihadiri juga oleh peserta dari berbagai negara loh, di
antaranya adalah Algeria, Azerbaijan, Ekuador, Hungaria, Inggris, Iran, Malawi,
Meksiko, Mesir, Rusia, Slovakia, Timor Leste, Tunisia, Timor Leste, dan masih
banyak lagi. Hal ini membuat acara ini semakin banyak menyerap atensi
masyarakat sehingga dibubuhkan kata tambahan pada event 2019 kemarin, yaitu
menjadi “Jagakali International Art Festival” atas partisipasi berbagai negara yang
menampilkan pertunjukkan seni dan workshop di event ini.
Setiap
tahunnya, Jagakali Art Festival mengangkat tema yang berbeda. Pada tahun 2019, yang
merupakan event pertama berskala Internasional dan sekaligus acara terakhir sebelum
pandemi Covid-19 melanda, mengangkat tema “Cinta Sejati.” Tema tersebut dipilih
karena ketua pelaksana melihat bahwa pada 2019 lalu terdapat banyak isu yang
terjadi di Indonesia, dari mulai politik hingga lingkungan. Kita dihadapkan
pada berbagai isu perselisihan antar manusia, polemik antar agama, isu rasial,
dan kerusakan lingkungan yang terus terjadi membuat manusia yang seharusnya berperan sebagai khalifah di bumi kehilangan tujuannya untuk menyeimbangkan ekosistem
lingkungan. Jika ditarik kesimpulan, sebenarnya isu tersebut mencuat karena
kurangnya rasa cinta kepada Tuhan, cinta pada sesama, dan cinta pada lingkungan.
Jika kita mampu mencintai Tuhan seutuhnya, maka kita juga akan mencintai
makhluk ciptaan-Nya.
Pada event tahun 2019 diselenggarakan di Cadas Ngampar, Kopiluhur, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon. Lokasi tersebut merupakan dataran tertinggi di Kota Cirebon dan sekaligus berdekatan dengan Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) Kopi Luhur. Sebagai informasi, TPA Kopi Luhur menampung seluruh sampah dari kota Cirebon dan terus bertambah setiap tahunnya. Menurut Kompas, jumlah sampah yang terus meningkat membuat TPA Kopi Luhur diperkirakan penuh tiga tahun lagi. Jika tanpa pengelolaan sampah di masyarakat, maka TPA tersebut tidak akan digunakan lagi. Oleh karena itu, pelaksana memutuskan event Jagakali Art Festival pun digelar di tempat tersebut yang diharapkan dapat mengedukasi masyarakat sekitar dan mencari solusi bagi permasalahan lingkungan yang tengah terjadi.
Dari
festival ini, kita bisa melihat bahwa ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk
membangkitkan kepedulian kita terhadap lingkungan. Seni dan budaya adalah media
yang bisa menarik banyak atensi publik. Kita semua memiliki irisan kepentingan
yang sama untuk menjaga bumi terlepas dari apapun latar belakang kita. Selain
itu, dengan adanya pertunjukkan beragam seni dan budaya, maka kita juga turut
menjaga kelestariannya. Melestarikan budaya artinya ikut menjaga lingkungan.
Seniman memiliki rasa dan kepekaan tersendiri, terutama tentang alam dan lingkungan karena alam adalah sumber inspirasi. Seniman dan alam saling berkaitan erat. Kampanye
menjaga lingkungan melalui festival oleh seniman dinilai efektif dalam membangkitkan
kesadaran masyarakat tentang kondisi lingkungan yang sedang tidak baik-baik
saja, sehingga diharapkan semakin banyak yang peduli lagi dan mau berkontribusi
dalam menjaga bumi.
Untukmu
bumiku, demi bumi yang lestari.